Reportase Haji 2024 M |1445 H
KISARAN.CO.ID, – Akhirnya, momen itu tiba. Momen yang sungguh sakral dan membuat perasaan mengharu biru dan tak menentu. Yaah, hari ini adalah tawaf terakhir, tawaf wada’. Tawaf perpisahan, atau yang mengesahi adanya pertemuan lalu akan terjadi perpisahan.
Hari-hari ini, jamaah gelombang kedua, -belum siarah ke baytunnabi Madina almunawwarah, memang kesempatannya untuk melaksanakan tawaf wada. Para jamaah yang telah melaksanakan prosesi haji sejak memasuki Makkah untuk umrah wajib, melaksanakan tawaf, sai, tahallul, wukuf di Arafah, bermalam di Muzdalifa, melontar jumrah di Mina dan melaksanakan tawaf ifadah, sai, tahallul, maka memang menurut rukunnya, mesti diakhiri dengan tawaf wada’.
Hanif Hawari (detikHikmah) memaksudkan, tawaf ini dilaksanakan saat akan meninggalkan Kota Makkah. Merupakan tawaf terakhir sebagai penghormatan kepada Baitullah. Tawaf ini sebagai tawaf perpisahan.
Dinukil dari buku Hikmatut Tasyri’: hikmah tawaf wada adalah sebagai bentuk penghormatan. Mirip seorang tamu mengucapkan selamat tinggal kepada tuan rumah sebelum kembali ke tempat asalnya.
Bahwa mengenai tawaf wada sebagai tawaf perpisahan, maka sedikitnya bisa didekati secara “psikologis” bahwa setiap manusia akan terkait perpisahan. Pijar Psikologi (2019) menyebutkan, peristiwa psikis manusia berkaitan dengan perpisahan akan memunculkan tiga fenomena.
Pertama, penyangkalan (denial). Seseorang tak ingin berada dalam predikat “keterpisahan”. Bila sebelumnya pernah merasa bersama -dopamin kegembiraan yang pernah mengalir dalam dirinya, tetiba akan berhenti. Dari situ ia menyangkal (tak dapat menerima).
Kedua, berada dalam tahap berandai andai (depression). Ingin kembali seperti sebelumnya. Ingin memperbaikinya atas kekurangan. Dan bila keadaan ini seseorang tak bisa bangkit memperbaiki diri, maka akan selamanya menanggung depresi. Kehampaan akan dirasakan. Penyesalan berkepanjangan.
Ketiga, Kesedihan untuk belajar menerima. Jika karena harus pergi, ya, akan pergi. Adalah hak sang waktu. Tetapi kenangan-kenangan itu akan selalu diputar dalam ingatan.
Tawaf wada sebagai tawaf perpisahan boleh jadi sama dengan keadaan yang disebutkan. Bahwa diantara penyangkalan, berandai, kesedihan karena perpisahan, bercampur-campur dalam haru biru saat tawaf wada entah sesudahnya.
Namun lebih jelas dan pasti, setelah tawaf ini memang berarti segera meninggalkan kota suci makkatul mukarramah. Segera akan berpisah oleh tempat-tempat yang nyata-nyata tersebut dalam kitab suci alqur’an, sebagaimana menyebutnya Masjidil haram, syafa marwah, Makami Ibrahim, Ummul qura (mekkah) dst.
Tak kalah ‘harunya’ adalah segera meninggalkan kota ini, kota tempat kelahiran manusia paling mulia, termulia di bumi, di langit semesta. Wallahu a’lam.(*)
Oleh : Usman Suhuriah
TPHD Sulbar melaporkan dari Mekkah