Mengenang Ramadan Saat Bocah, Begini Cerita Brigjen Guslin

Asdep Koordinasi Kewaspadaan Nasional Kemenko Polhukam, Brigjen TNI (Mar) Dr. Guslin, S.H., M.M., M.H.. (Foto: Dokumentasi pribadi)

JAKARTA, – Bulan Ramadan adalah bulan penuh magfirah. Bagi Umat Islam, bulan Ramadan adalah bulan yang ditunggu-tunggu. Pasalnya, Ramadan adalah momen terbaik untuk memperbanyak amal ibadah dengan jaminan akan dilipatgandakan oleh Allah SWT.

Sehingga, kehadiran “tamu” Ramadan juga menjadi sesuatu yang harus disambut dengan bahagia. Seperti itu jugalah yang dirasakan oleh Asdep Koordinasi Kewaspadaan Nasional Kemenko Polhukam, Brigjen TNI (Mar) Dr. Guslin, S.H., M.M., M.H.,

“Momen Ramadan adalah bulan yang ditunggu-tunggu. Ini Allah SWT memberikan dalam keterangan tertulisnya, Sabtu, 16 Maret 2024.

Rasa bahagia setiap datangnya Ramadan sudah terasa sejak puluhan tahun silam. Saat Guslin kecil, kala itu, sudah menikmati datangnya Ramadan. Tepatnya di Desa Mosso, Kecamatan, Sendana, sekira 30 kilometer dari pusat kota kabupaten Majene, Sulawesi Barat.

“Suasana kala itu sangat dirindukan. Sungguh Ramadan yang syahdu dan sangat dinikmati.  Apalagi dikampung yang berada di pesisir pantai,” tutur pria kelahiran 1969 tersebut.

Ia mengaku, banyak kisah masa lalu yang masih tersimpan rapi di memorinya. Namun dari sekian banyak kisah tersebut, ia tak bisa melupakan saat menjadi tukang antar sajadah dari dua tokoh masyarakat bangsawan dikampungnya.

“Saya waktu kecil bertetangga dengan keluarga bangsawan. Namanya Daenna I Tadu dan Daenna Indionga alias Daeng Ngasseng (salama lao dikuburna). Bagi mereka saya sudah dianggap sebgai anak sendiri sehingga selepas sekolah saya sering makan jepa dirumahnya,” tutur Brigjen Guslin.

Baca Juga  Satresnarkoba Polres Mateng Bekuk Pengedar Pil Boje

Lebih lanjut, Guslin menceritakan, selepas ashar saat Ramadan, ia mendapat tugas mengantarkan sajadah milik Daeng Asseng ke masjid Rida Allah lalu mengkapling tempat dan menempatkan sajadah di saf terdepan.

Kebiasaan itu dilakukan bertahun-tahun dari usia lima tahun hingga kelas lima SD. Ia juga tak menyangka karena di usia sebelia itu Guslin kecil sudah mendapat amanah dan tanggung jawab walau hanya membawakan sajadah. 

Kedekatan Guslin kecil dengan tokoh bangsawan tersebut tak hanya sampai di bulan Ramadan. Guslin bahkan dijadikan sebagai anak angkat keluarga bangsawan tersebut.

Sebagai nelayan bangsawan yang sudah dianggap sebagai orang tua angkat tersebut suatu hari mengajak melaut untuk menangkap ikan. 

Mereka berangkat dipagi buta selepas sholat subuh. Dengan bermodalkan layar, angin laut yang hembusannya begitu keras dan dingin membuat Guslin menggigil kedinginan. “Kedua bangsawan itu sebenarnya paham kalau saya lagi kedinginan, namun malah membiarkan saya kedinginan hingga daratan sudah mulai tak nampak,” kata Guslin lagi.

Baca Juga  Polwan Polda Jabar Bagikan Takjil di Lampu Merah

Bagi Guslin, itu ternyata menjadi latihan ketahanan fisik dan mental awal secara alamiah. Singkat kata hubungan Guslin dengan Daenna I Tadu ibarat bapak dan anak. Bahkan saat mangkat sekitar awal tahun 1980 an, Guslin kecil adalah satu-satunya bocah non bangsawan yang diberi kesempatan duduk di atas tandu saat janazahnya diantar ke pemakaman terakhir.

“Biasanya ada enam anak yang disuruh duduk di atas tandu sambal membawa bambu berisi air dan koin dan ditutup dengan kain putih. Istimewanya, saya satu-satunya bocah yang bukan keturunan bangsawan duduk di momen itu,” kenangnya lagi.

Selain kenangan jadi tukang bawa sajadah, Guslin juga tak bisa melupakan hal-hal yang terbilang konyol saat Ramadan datang. Ia menuturkan bagaimana kiat-kiat bertahan puasa saat masih kecil.  Waktu kecil, kata Guslin, akan selalu kuat-kuatan puasa dengan bocah sebayanya. Makanya, Guslin kecil dan teman-temannya akan berusaha tampil prima dan tidak terlihat lemas. Tentu dengan cara masing-masing. 

“Mohon maaf ini agak konyol ya dan tidak patut dicontoh. Jadi suatu hari karena sudah tak kuat menahan rasa haus, sekitar jelang ashar saya lalu pura-pura mandi di sumur pompa tak jauh dari rumah. Sembari mandi itulah sesekali air pompa lalu masuk ketenggorokan sambil minum. Air di pompa kan lebih bersih tuh dibanding air dari sumur,” ujarnya sambal tertawa lepas.

Baca Juga  Usai Ramadan, Jusuf Kalla Ajak Warga Makassar Tetap Ramaikan Masjid

Guslin, yang akrab dipanggil Kaka Jenderal ini juga tak akan pernah lupa pada suasana Ramadan di masa kecilnya. Pasalnya, di keluarganya, makanan buka puasa (takjil) itu sudah dijatah untuk setiap orang. Apapun jenis penganan buka puasa saat itu.

“Misalnya onde-onde, jatah kami itu pasti hanya dua. Apang dua biji. Apapun itu jatah kami itu hanya dua,” sebut Kaka Jenderal.

Jumlah itu sepertinya masih kurang. Guslin masih merasa kurang kenyang. Namun tak bisa menambah porsi lagi untuk memenuhi hasrat laparnya. Tapi ternyata Guslin kecil punya cara untuk tetap bisa dapat takjil yang lebih dari jatah yang telah ditetapkan.

“Caranya kabur dari rumah. Jadi setiap habis buka puasa di rumah, saya langsung ke rumah kakek dan paman”. Ujarnya 

Hubungan yang sangat erat dengan keduanya mendapatkan kesan tersendiri dimata kedua orang yang sangat dihormati oleh Guslin kecil, sehingga tak heran selalu ada jatah khusus yang memang telah disiapkan untuk saya. “Alhamdulillah, bisa lebih puas,” kenangnya lagi.(*)

Respon (2)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *