Jakarta,- Pernah merasakan bulan puasa di atas kapal? Atau mungkin menjalankan ibadah di termpat paling ekstrim dan berat? Nah, coba bandingkan dengan cerita di bawah ini. Katanya, berpuasa di medan juang.
Ini kisah nyata. Asdep Koordinasi Kewaspadaan Nasional Kemenko Polhukam, Brigjen TNI (Mar) Dr. Guslin, S.H., M.M., M.H. adalah tokoh dan saksi. Tepatnya bulan puasa di tahun 1996, atau 28 tahun silam. Saat itu, ia bertugas dalam tim Satgas Rajawali Pemburu 1 di Timor Timur (Saat ini menjadi Timor Leste).
Guslin yang saat itu masih berpangkat Letnan Dua (Letda) adalah salah satu Komandan Tim Pasukan Rajawali Pemburu 1 yang beroperasi di Timor Timur. Satgas ini adalah besutan Kolonel Infantri Prabowo Subianto saat menjabat sebagai Komandan Pusdik Kopassus, Batu Jajar, Jawa Barat. Ia membawahi 24 personel dari satuan marinir, satu-satunya Kompi pemburu dari luar Angkatan Darat yang tergabung dalam 13 Kompi Pemburu saat itu.
“Jadi minggu-minggu pertama puasa (sekira medio Januari), keluar perintah untuk melakukan pengejaran terhadap kelompok GPK Fretilin yang sebelumnya melakukan penghadangan terhadap satuan TNI di sekitar Pegunungan Mundoperdido. Kami bergerak dari Cairui Kabupaten Manatuto di utara dengan operasi pagar betis ke kea rah selatan Kabupaten Viqueque ke arah selatan,” kata Brigjen Guslin mengawali ceritanya melalui pesan tertulis, Senin, 18 Maret 2024 .
Singkatnya, lanjut Guslin, adalah pengejaran kelompok Fretilin dari arah Utara ke Selatan Timor-timur. Berjarak sekira 108 km, menembus rangkaian Pegunungan Aitana dan Pegunungan Dibilio. Praktis, medan yang lewati pun bukan medan yang biasa, atau jalur normal. Namun membelah hutan belantara, menyeberangi sungai dan naik turun lembah dan gunung.
“Medan yang kami lewati saat itu cukup menantang. Mulai dari mendaki gunung, menuruni lembah, menyusuri dan menyebrangi sungai, menembus hutan belantara, tentu dengan segala tantangan dan rintangan yang tidak ringan,” papar pria berdarah Mandar, Sulawesi Barat ini.
Pria kelahiran Sendana, Kabupaten Majene ini menambahkan, momen itu terbilang istimewa lantaran bersamaan dengan pelaksanaan ibadah puasa. Bagi penganut Islam taat ini, puasa adalah kewajiban, meskipun situasinya diperbolehkan untuk tidak berpuasa karena alasan musafir dalam tugas saat itu.
“Biasanya pada masa-masa operasi penugasan yang saya lakukan, hubungan antara diri dan sang pencipta itu justru semakin dekat dan makin kuat sehingga puasa dan salat itu adalah yang tidak bisa terbaiakn meski dalam kondisi keterbatasan di tengah hutan,” tegasnya singkat.

Ia membeberkan dalam setiap penugasan, tim biasanya dilengkapi bekal (ransum) dengan persiapan selama 15 hari. Selanjutnya akan diberikan dorongan logistik kembali setelah hari ke-15. Namun saat pengejaran sisa-sisa GPK Fretilin, durasi operasi molor hingga 20 hari. Praktis logistik menipis dan otomatis melakukan survival.
“Mungkin karena kami keasyikan melakukan pengejaran di hutan hingga operasi pengejaran molor 5 hari,” katanya lagi.
Memasuki hari ke-16, pengalaman sekaligus ujian survival di tengah hutan belantara berjalan. “Tim pemburu bergantung pada makanan yang kita temukan di hutan dan bekas kebun-kebun masyarakat. Seperti, pisang, kelapa, rebung, bambu muda dan cintrong dan lainnya yang b isa ditemui dan menu berbuka maupun sahur,” beber pria kelahiran 1969 ini.
Alhasil, dihari ke-20 jelang lebaran, tim yang dipimpinnya berhasil tiba di Viequeque dan langsung melakukan perbelakan ulang dan bergabung dengan tim kompi lainnya. “Alhamdulillah, perjalanan selama lima hari yang terbilang berat. Tapi semuanya dinikmati dan tak lepas dari situasi yang harus waspada dan hati-hati,” tambah sosok yang akrab dipanggil Kaka Guslin ini.
Yang unik sekaligus menegangkan, lanjut Kaka Guslin, saat sahur di tengah hutan. Bagaimana tidak, seluruh tindakan harus senyap dan tanpa suara. Bahkan saat sahur, itu dilakukan di dalam tenda yang tingginya hanya 75 cm dengan posisi duduk. “Selain terbilang pendek juga dalam keadaan gelap gulita. Situasi memang tanpa penerangan dan tidak boleh bergerak. Sehingga sendok yang menyesuaikan posisi keberadaan mulut,” seloroh Guslin sambil tertawa.
Tim, kata Guslin menyadari, bahwa dalam operasi seperti itu, cahaya dan bunyi adalah sesuatu yang bisa menimbulkan bahaya bagi tim. Sehingga mereka tidak boleh menggunakan alat penerangan maupun alat yang bisa menimbulkan bunyi. “Piring dari plastik dan sendok dari stenlis. Kemudian tak ada penerangan semacam senter. Semua waspada,” tegasnya lagi.
Lebih jauh ia berpesan, dalam kondisi apapun, setiap hamba harus senantiasa bisa bersyukur dan berusaha menjalankan perintah sesuai ajaran agama yang dianut. “Pada intinya, dalam kondisi apapun baik susah maupun senang setiap hamba selaku manusia harus senantiasa menjalankan perintahNya, berdoa kepadaNya karena doa itu memberikan jalan kemudahan dan membukakan solusi akan setiap kesulitan yang dihadapi setiap hambanya,” tandasnya.
Itu adalah hikmah dari pengalaman penugasan yang dialami Brigjen Guslin.(*)